Sunday, May 22, 2016

,

See You Again - Arini Putri


Judul: See You Again
Penulis: Arini Putri
Editor: Ayuning
Desain sampul: Dwi Anisa Anindhika
Penerbit: GagasMedia 
Cetakan pertama, 2015


Blurb: 
Tanpamu, yang tersisa hanyalah sepi.
Namun, memang tidak segalanya berjalan sesuai yang kita mau.
Waktu akan terus melaju meski kita memohon agar ia menunggu.
Meski nyatanya waktu pun belum mampu mengubah diri kita.
Kita masih saja orang-orang yang tak punya nyali.
Setelah semua yang terjadi, apakah arah kita masih sama?

Tahun-tahun lewat begitu cepat.
Sempatkah ia menumbuhkan keberanian untuk tiga kata yang tak pernah terucap?

Bagas menemukan sebuah novel grafis. Mengusik memori dan rindu yang lama ia simpan. Tentang Sharon, Angin, Dito
—wajah-wajah yang menyimpan luka di balik senyuman.
Namun, juga merupakan sahabat-sahabat yang berjanji menggenggam harap dan mimpi yang sama.

Masa-masa penuh mimpi dalam hidup Bagas seakan kembali, menyisakan banyak cerita. Juga sebuah hal besar yang terus ia sesali. Tak pernah ada kata terlambat untuk mengubah jalan ke arah yang lebih baik. Namun, bagaimana jika kita tak pernah menyadari bahwa bahagia bisa kita ciptakan sendiri?

Seperti yang ada di blurb, segalanya dimulai ketika Bagas menemukan sebuah novel grafis di toko buku (terus dibeli, kok. Gak dicolong). Pas dibaca-baca, tahunya yang membuat novel itu adalah temannya sendiri--teman semasa SMA-nya. Mulai dari situ, Bagas merasa dia rindu dan mulai menghubungi teman-teman SMA-nya.

Kemudian, mulailah adegan-adegan sorot balik. Mulai dari menjelaskan kalau Bagas itu anak kelas Bahasa yang sering dianggap kelas remeh receh tidak berguna, sampai konflik setiap teman di kelasnya (tenang, temen sekelasnya cuma 13 orang, kok. Bukan 40-an gitu. Yekali. Ntar novelnya ketebelan terus saya jadiin bantal).

Konfliknya cukup beragam. Mulai dari masalah satu geng di kelas yang bersangkutan dengan rokok, cewek yang dinginnya mengalahkan es krim tapi tahunya, punya semacam masalah di rumahnya. Ada juga masalah cewek sama cowok yang sama-sama takut buat ngungkapin perasaan, masalah cowok cuek dengan keluarga dan dunia daan banyak lagi. Kelas Bahasa juga pernah harus menghadapi dunia sekolah bersama-sama karena pandangan miring nyaris semua orang di sekolahnya.

Masalah-masalah itu bahkan ada yang belum selesai sampai mereka dewasa. Makanya pas reuni, si Bagas rada manyun-manyun murung. Tapi begitu masalahnya terkuak, ternyata tidak terlalu baik hasilnya.

Tak semua hal berjalan seperti yang kami mau. Ternyata hidup memang bekerja dengan cara seperti itu. (Halaman 346)

Awalnya saya beli novel ini karena salah satu teman saya bilang novel ini bagus banget, sampai dia mau terjun ke dalam bukunya dan... entah ngapain. Walaupun katanya isinya lumayan klise dan rada sinetron, tapi tetep bagus (mungkin karena hidupnya memang sudah penuh dengan sinetron). Akhirnya, karena penasaran, saya beli.

Satu hal yang harus kalian tahu tentang saya, saya itu paling males baca blurb di toko buku. Palingan cuma baca awal-awalnya, terus kalau menarik, beli. Jarang banget baca blurb sampai habis. Apalagi pas beli buku ini, kayaknya gak baca blurb-nya sama sekali. Jadi, kalau teman saya gak bilang novel ini bagus dan saya cuma baca blurbnya, kayaknya saya enggak bakal beli. Bukan, bukan karena blurbnya jelek. Cuma saya enggak pernah terlalu tertarik sama blurb yang panjang gitu wkwk atau yang kebanyakan kata-kata puitisnya (hehe. ini masalah selera, sih. Jangan hujat saya!)

Terus masalah sampulnya, bagus sih, cuma awalnya saya kira, Arini Putri itu judulnya. Sumpah. Ini novel Arini Putri yang saya baca pertama kali, dan saya bener-bener ngira Arini Putri itu judulnya wakakakak.

Soal ceritanya, saya sukaa! Ceritanya heart warming gitu sih, menurut saya. Semacam cerita yang bikin saya tersenyum (halah apa sih). Tapi serius. Konfliknya ada banyak, dari masalah temen, keluarga, pacar, sampai guru juga ada. Lengkap. Tinggal dipilih, dipilih, dipilih! (jayus wo).

Kalau ada yang bilang cerita banyak konflik itu bikin feel-nya kurang buat setiap konflik, menurut saya sih, enggak gitu. Di kehidupan nyata kan, konflik gak dateng satu-satu, terus kalau keramean kita stop. Konflik mah, dateng-dateng aja. Jadi menurut saya, banyak atau enggaknya konflik enggak memengaruhi feel, sih. Tapi yah, kalau konfliknya semua gede-gede, pusing juga bacanya. Saya suka baca cerita yang konflik besarnya gak terlalu banyak, tapi ada konflik kecil-kecil di sekitarnya, biar realistis. Karena hidup kan, emang enggak mulus. Tak ada gading yang tak retak, kawan-kawan.

Sayangnya, di cerita ini, lumayan banyak typo-nya. Sepele sih, kayak misalnya salah ketik nama, dan penggunaan kata berulang (sayangnya, yang kedua banyak saya temukan). Kayak misalnya, kata 'itu' atau 'ini' yang diulang, dalam bahkan, kalimat yang sama. Bacanya jadi kurang enak.

Ini saya temukan di halaman pertama:
Menurut saya, agak kurang enak aja, sih. Lebih enak, kalau dikasih piza


Selain itu, ini ada tiga kesalahan yang saya foto (males kalau foto semuanya):

Menjulurkan apaan?


papa kamu atau Papa kamu? Papa saya aja gimana?

Itu harusnya bapaknya Bagas ngomong sama Bagas lol Apa jangan-jangan, bapaknya Bagas tidak mengakui Bagas sebagai anaknya?!

Beberapa kesalahan lain sih, cuma typo biasa, kayak salah ketik satu huruf kesalahan penggunaan huruf kapital yang wajar. Dan sebenernya, segala kesalahan di atas adalah hal yang wajar-wajar saja, cuma lebih baik kan, kalau diperbaiki?

Dan ada satu hal lain yang agak ganjal menurut saya. Di halaman 306, waktu Bagas tuut (ini disensor karena spoiler, ceritanya), Sharon bilang:

"Kasih Angin waktu buat dirinya. Kasih dia waktu untuk ngumpulin keberaniannya buat minta maaf ke lo."

Ya pokoknya, si Sharon ini yang nyaranin dan bersikeras Bagas ngasih waktu buat Angin.

Eh, terus di halaman 332, si Sharon bilang ke Bagas:

"Beberapa hal memang hanya bisa disembuhkan oleh waktu. Tapi kita harus tahu, ada kalanya kita terlalu bergantung sama waktu. Dan saat kita sadar, semuanya sudah terlambat."


Kesannya kan, si Sharon nyalahin Bagas karena udah bergantung sama waktu, padahal yang nyaranin kan juga si Mbak. Haduh, si Mbek--eh, Mbak.

Dan satu lagi, pesan moral yang disampaikan secara tersurat, saya kurang dapet. Soalnya, kata-katanya kayak diulang-ulang gitu. Tentang waktu yang tidak berhenti, terus dunia tidak bekerja seperti yang kita mau, dan sebagainya, itu beberapa kali diulang. Jadi, kurang nendang terus gak ada efek jeng jeng jeng gitu.

Tapi, secara keseluruhan, ini novel yang bagus. Saya belajar lumayan banyak dari novel ini. Dan, saya juga beberapa kali sukses dibuat tertawa terbahak-bahak. Salah satu pesan yang saya dapatkan dari novel ini adalah:

Gagal nembak anaknya? Langsung bapaknya aja!

3.5 dari 5 bintang buat novel ini.[]



0 komentar:

Post a Comment