Wednesday, December 12, 2018

,

A Librarian's Diary - Athira Marsya


Judul: A Librarian's Diary
Penulis: Athira Marsya
Editor: Pradita Seti Rahayu
Penerbit: Elex Media Komputindo




Blurb:

Alasan mengapa aku tidak setuju menjaga perpustakaan keluargaku :

1. Aku masih enam belas tahun.

2. Yang berarti aku masih remaja, dan seharusnya menikmati masa mudaku,

3. Namun waktuku malah dihabiskan untuk mencatat nomor-nomor buku perpustakaan keluargaku sendiri!

4. Sepulang sekolah aku tidak bisa nongkrong dengan sahabatku (bisa sih, tapi di perpustakaan, dan bagiku itu sama sekali bukan nongkrong).

5. Ini pekerjaan yang sangat membosankan, omong-omong.


Tapi, tahu yang paling parah? Aku harus membiasakan diriku menghadapi cowok paling datar sedunia!



A Librarian's Diary bercerita tentang Putri, remaja cewek kelas 2 SMA yang demi mendapat uang jajan tambahan, terpaksa menjaga perpustakaan keluarganya.

Seperti yang bisa dibaca di-blrub-nya, Putri merasa tersiksa dengan pekerjaan ini. Apalagi, ada satu pengunjung cowok yang datar dan kalau ngomong suka pedes.





Beberapa waktu kemudian, Putri baru tau kalau cowok datar yang bernama Meru itu ternyata satu sekolah sama dia, dan sekelas sama kakak kembarnya--Raja dan Kaisar.

Dan bukan cuma Meru aja yang sekelas sama Raja dan Kaisar, tapi ada juga si Elka. Cowok yang menurut Putri imut dan lain sebagainya. Putri sampai mau meleleh kalau ketemu Elka, hahaha.

"Salju," gumamku pelan tanpa sadar, terlalu sibuk terpesona untuk sekadar bersikap normal.


"Ng... salju?" tanya Elka dengan bingung.


"Gue bisa meleleh kapan aja...," racauku.


Putri juga punya sahabat, Tiara. Tiara ini cewek yang malas belajar, malas membaca, malas punya pacar waktu SMA tapi malah dia yang nantinya...




Apa yang terjadi sama Putri? Tiara? Elka? Meru? Raja dan Kaisar? Silakan baca sendiri bukunya! :D.

Okee, sebelumnya congrats buat buku debutnya, Rin. Apakah cerita ini dari pengalaman pribadi?


HAHAHAHAH. Gak deng. Itu mah Kiri, ya.


Pertama, saya bahas karakter-karakternya dulu.

Saya cukup suka karakter semacam Putri di novel-novel. Karakter yang blak-blakan, lucu, dan menyenangkan buat diikuti jalan pikirannya. Walaupun kadang suka impulsif (apalagi kalau udah ngomong), tapi justru di situ daya tariknya.

"Maksudku, tahu, kan, kelebihanku adalah kelebihan suara dan kekuranganku adalah kekurangan berpikir sebelum bicara."

Putri juga kadang kayak enggak peduli lagi sama harga dirinya, makanya tindakannya jadi kocak.




Dari cerita sepanjang 201 halaman ini juga, kelihatan kalau Putri mengalami perubahan berpikir dan lebih dewasa daripada sejak dia muncul di halaman pertama. Jadi oke, lah.

Terus ada Raja dan Kaisar.

Mereka berdua itu karakter favorit saya di buku ini! Dua-duanya lucu banget. Dan yang paling saya suka kalau mereka udah berinteraksi sama Putri. Lucu banget! Hahaha.

Cuma saya sebetulnya pengin lebih banyak momen Raja-Kaisar. Kayak, interaksi mereka berdua aja di depan Putri. Soalnya biasanya yang ditunjukin Raja-Putri atau Kaisar-Putri. Interaksi Raja-Kaisar agak kurang.

Emang jelas sih, mereka kelihatan beda minat dan lain-lain, cuma sebagai saudara kembar, saya penasaran aja sama interaksi mereka.

Oke, lanjut!

Kemudian, saya mau bahas Meru.




Saya suka karakter datar Meru. Menurut saya, porsinya pas untuk buku ini. Enggak terlalu datar banget jadi rasanya masih masuk akal dan bukan kayak karakter fiksi yang dibuat-buat terlalu datar dan dingin.

Aku mengerutkan dahi, memikirkan sesuatu. "Eh iya, siapa nama lo? Gue lupa. Bromo?"


Dia mengerjap. "Mahameru," koreksinya.

Sayangnya, menurut saya, latar belakang Meru kurang dijelaskan. Ada penjelasan sedikit tentang keluarga Meru dan lain sebagainya, tapi selebihnya, enggak ada penjelasan lain.

Ya, sebenernya enggak apa-apa juga sih, dan enggak memengaruhi cerita juga karena ini kan ceritanya Putri, tapi, saya jadi kurang bisa merasakan 'koneksi' sama Meru karena rasanya kurang kenal aja gitu. Apalagi, Meru baru banyak muncul sekitar hampir setengah buku ke belakang, setelah Elka memberi


harapan kosong

Dan, momen kedekatan Meru sama Putri juga banyak yang diceritain sekilas dan kayak dirangkum gitu. Jadi, mungkin Putri memang kenal Meru, tapi pembaca kurang.

Ngomong apa sih gue. Ngapain juga Meru kenal sama gue. Wkwk.

Kayak, kalau embel-embel 'cowok datar yang suka baca komik' dilepas dari Meru, bagi saya, dia hampir tinggal nama doang. Mungkin istilahnya hampir two-dimensional gitu kali, ya, saya juga bingung ngejelasinnya gimana, hahaha.

Makanya, saya juga kurang merasakan hubungan Meru-Putri karena saya kurang bisa mengerti kenapa Meru bisa...

Enggak jadi deh. Spoiler. Hehe.

Tapi overall, saya suka sih, sama Meru. Lucu, kadang manis, dan walaupun sedikit ngomong (untungnya) enggak sok dingin dan mulutnya bebas dari kata kasar.

Okeee, selanjutnya Tiara.

Saya juga suka karakter Tiara. Dia ngomong apa yang mau dia omongin (sampe kelewat jujur ya sama itu HEHE). Dia juga orang yang bisa bikin Putri waras kalau lagi enggak waras (walau kadang gagal dan Putri enggak dengerin dia, wkwk).

Aku berhenti sejenak dan terkekeh. "Ada sih kalau gue sama Elka jadian suatu hari nanti."


"Dan menurut gue, suatu-hari-nanti itu sama dengan kiamat," kata Tiara tidak acuh dan aku berdecak sebal.



Tapi saya suka gimana cerita ini juga ngembangin dan nyelesaiin subkonflik Putri dengan dua cowok itu (siapa hayoo wkwk).

Dan oh, omong-omong soal Tiara, ada satu hal yang pengin saya bahas di sini.

Jadi gini, menjelang akhir buku, ada bagian ketika Tiara dan Putri berantem. Di sini, pokoknya ada situasi di mana Tiara salah sama seseorang dan Putri enggak mau maafin Tiara sampai Tiara minta maaf sama orang itu.

Alasan Putri adalah, dia takut kalau dia dengan mudahnya maafin Tiara, Tiara enggak bakal nyelesaiin masalahnya sama orang itu. Jadi Putri bilang, dia bakal maafin Tiara kalau Tiara udah minta maaf sama orang itu.

Nah, jadi, Tiara minta maaf tuh, ke orang itu, dan persis setelahnya, dia datengin Putri, pengin baikan sama Putri.

Yang mau saya sampaikan adalah, saya kurang setuju sama Putri. Maksud saya, kalau kayak gitu kan, Tiara jadi minta maaf kesannya cuma supaya bisa baikan sama Putri, bukan gara-gara ngerasa bersalah. Padahal Putri sendiri yang menganggap kalau Tiara itu salah banget dan harus minta maaf.


hahahaha, saya ngomong berapa kata maaf coba barusan. wkwk.

Sekarang, saya pengin bahas satu hal lagi yang agak mengganjal menurut saya.

Begini, saya ngerti kenapa Putri enggak suka jaga perpustakaan, karena pekerjaan itu membosankan dan lain sebagainya, dan dia pengin menikmati masa remaja.

Tapi sepanjang buku ini, enggak ada momen di mana Putri terlihat pengin melakukan hal lain. Yang dia lakuin di perpustakaan kalau enggak ada kerjaan juga nonton YouTube, dan dia terlihat enggak ada masalah dengan itu.

Mungkin, pembaca bakal lebih merasakan penderitaan Putri kalau misalnya, ada beberapa kesempatan di mana Putri pengin ke suatu tempat sama Tiara, ngelakuin ritual rutin nongkrong di mana, atau yah, hal-hal semacam itu, dan terhambat gara-gara jaga perpustakaan, dan ada momen ketika Putri beneran kabur dari kerjaannya.

Kemudian, character arc-nya waktu beberapa bulan kemudian--atau yah, intinya setelah melewati beberapa kejadian--Putri sadar kalau jaga perpustakaan mendatangkan keberuntungan (baca: cowok ganteng) juga dan ketika dia dihadapkan ke situasi yang sama, dia memilih jaga perpus. Atau yah, semacam itu, deh. Supaya pembaca bisa lebih merasakan character development-nya Putri dalam hal menjadi pustakawan.

Soalnya, sepanjang buku ini, saya enggak benar-benar melihat ada sesuatu di kehidupan Putri yang terhambat gara-gara dia jaga perpustakaan. Dan di akhir, dia juga bersyukur jaga perpustakaan karena dia bisa ketemu sama Meru, bukan gara-gara pustakawan-nya sendiri. If u know what I mean.

"Kurasa, aku harus mulai berhenti mengeluhkan pekerjaanku dan mulai bersyukur karena orangtuaku pernah memaksaku untuk menjadi penjaga perpustakaan keluargaku sendiri. Karena kalau itu tidak pernah terjadi, aku juga tidak akan mengenal dia."

Okee, mungkin itu aja kali, ya. Selebihnya, cerita ini emang bacaan ringan yang cocok buat dijadiin hiburan. Humornya saya suka! (Kadang receh sih, tapi saya juga receh jadi ngakak juga bacanya.) Apalagi kalau Putri udah ngoceh macem-macem di kepalanya atau ke Raja-Kaisar. Hahaha.





Ini ada beberapa kutipan yang saya suka dari A Librarian's Diary.

"Nggak semua kakak tahu gimana cara nunjukkin rasa peduli mereka ke adiknya, Put."

--

"Senang rasanya mengetahui ada yang peduli denganku, terlebih dari seorang kakak yang selama ini kukira memiliki tingkat kepedulian nol."

--

"Tentu aja gue apa-apa. Tapi, gue nggak sekarat. Jadi, lo nggak perlu khawatir."

--

"Kadang, gue khawatir. Banyak anak sekolahan sekarang yang terlalu sibuk ngurusin cinta, sampai mereka lupa tujuan utama mereka ke sekolah."

Terakhir, saya kasih buku ini 3.5 bintang buat Istana Baca! Ditunggu buku-buku selanjutnya, Rin. Terutama cerita Kiri-sama-siapa-nama-cowoknya-Alan-bukan-sih.










0 komentar:

Post a Comment