Friday, February 4, 2022

,

Best Books I Read in 2021



Haai saya kembali lagi ke blog ini (akhirnya)! :D Walaupun agak telat, saya mau membuat list dan sedikit membahas tentang buku-buku favorit saya di tahun 2021 kemarin. Beberapa buku di list ini udah pernah saya bahas di-post sebelumnya karena saya baca di awal-awal tahun dan masuk ke post Mid Year Book Freak Out Tag (baca di sini) jadi maaf kalau ngulang-ngulang (beberapa bagian mungkin saya copas aja dari post itu HAHAHA, maaf ya). Okee mari bahas buku-bukunyaa!

 

Continue reading Best Books I Read in 2021

Saturday, July 24, 2021

, ,

Mid Year Book Freak Out Tag 2021


Halo! Seperti judulnya, saya mau bikin blog post yang isinya menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar buku yang sudah saya baca selama setengah tahun ini. Sejujurnya, saya baru baca 21 buku tahun ini per tanggal 23 Juli *emoji badut* jadi tag ini mungkin nggak akan sepenuhnya bisa diandalkan HAHA. Tapi nggak apa-apa, yang penting blog ini nggak kosong (sayang karena sudah bayar domain :D).

 

QUESTIONS: 

1. Best book you’ve read so far in 2021. 

2. Best sequel you've read so far in 2021.

3. New release you haven't read yet, but want to.

4. Most anticipated release for the second half of the year.

5. Biggest disappointment.

6. Biggest surprise.

7. Favourite new author. (Debut or new to you)

8. Newest fictional crush.

9. Newest favourite character.

10. Book that made you cry.

11. Book that made you happy.

12. Most beautiful book you've bought so far this year (or received)

13. What books do you need to read by the end of the year?

 

1. Best book you’ve read so far in 2021.


Know My Name – Chanel Miller




            Baca review lengkap di sini: https://www.expellianmus.com/2021/06/menemukan-harapan-dan-suara-know-my.html

Buku ini adalah memoir oleh Chanel Miller yang meceritakan kisahnya seputar pelecehan seksual yang dia alami di Stanford. Sebelumnya, Chanel Miller terkenal dengan nama Emily Doe lewat victim impact statement-nya yang diunggah di Buzzfeed pada 2016 dan jadi viral. Dalam statement itu, Chanel Miller (sebagai Emily Doe) menceritakan bagaimana dia ditemukan nggak sadar di gang dan diselamatkan oleh dua orang pesepeda Swedia yang kebetulan lewat dan meneriaki pemerkosanya, Brock Turner. Ia juga menceritakan bagaimana kejadian itu serta proses hukum yang harus dia lalui untuk menuntut Brock Turner itu mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang-orang di dekatnya dengan detail dan bahasa yang bagus sehingga menggugah hati jutaan orang.

Yang saya suka banget dari buku ini adalah, walaupun buku ini memoir, tapi rasanya bener-bener kayak baca literary fiction. Tulisan Chanel Miller bener-bener bagus tapi juga masih sangat accessible. Cara narasinya disusun pun juga teratur banget. Kita diajak mengikuti kehidupan Chanel Miller sebagai manusia—lebih dari sekadar label korban pelecehan seksualdan ikut merasakan mulai dari saat dia bangun di rumah sakit dan diberitahu bahwa dia mungkin telah diperkosa, ikut proses pengadilan yang rumit dan berliku-liku, kecewa karena Brock Turner menerima hukuman yang sangat ringan, dan bagaimana Chanel Miller berusaha hidup lagi ketika hidupnya sudah berubah 180 derajat.

Saya nggak bisa menekankan betapa saya sukaaaaa sekali buku ini. Pokoknya siapa pun baca ya! WWKWK. Saya baca buku fisiknya sekaligus dengar audiobook-nya (yang narasiin Chanel Miller sendiri) dan what an experience. 100000% recommended.

 

 

2. Best sequel you've read so far in 2021.


Hollowpox: The Hunt for Morrigan Crow (Nevermoor #3) – Jessica Towsend



 

Buku ini adalah buku ketiga dari serial Nevermoor yang pernah saya review di January Wrap Up saya, bisa dibaca di sini

Buat yang nggak tahu, saya certain dikit tentang serial ini dulu, ya. Jadi ini adalah serial middle grade fantasy yang ngikutin karakter utama bernama Morrigan Crow, Di buku pertama, Morrigan Crow diceritain terlahir sebagai anak “terkutuk” karena lahir di malam Eventide. Jadinya, semua hal-hal buruk di kotanya tuh salah dia. Nah, pas umur 12 tahun, anak-anak “terkutuk” ditakdirkan meninggal. Namun, Morrigan diselamatkan oleh pria nyentrik bernama Jupiter North, yang kemudian membaw Morrigan ke negeri "ajaib" yang Morrigan nggak ketahui sebelumnya bernama Nevermoor. 

            Dari situ, kita ngikutin Morrigan berusaha menyesuaikan diri di Nevermoor. Dia tinggal di Hotel Deucalion milik Jupiter North dan punya teman-teman baru di sana. Di buku keduanya, kita ngikutin dia beradaptasi di sekolah sekaligus komunitas barunya—Wundrous Society. Di mana ini tuh semacam komunitas elitnya Nevermoor. Semua anggotanya punya keterampilan khusus. Teman-teman satu unit Morrigan ada yang bisa naik naga, mempengaruhi orang dengan ucapannya, lihat masa depan, dll. Morrigan sendiri adalah seorang Wundersmith—jadi dia bisa mengendalikan Wunder yang merupakan sumber energi di dunia itu. Tapi keberadaan Morrigan dirahasiakan, karena Wundersmith sebelum Morrigan—Ezra Squall—jadi jahat  dan jadi semacam Voldemort-nya Nevermoor.

            Nah, dalam buku ini, masalah utamanya adalah ada suatu penyakit yang tiba-tiba menjangkit Wunimal—spesies binatang di Nevermoor yang bisa berpikir dan bertingkah layaknya manusia biasa, jadi Wunimal itu sehari-harinya hidup berdampingan dengan manusia. Beda sama Unimal yang kayak binatang biasa aja. Nah, Wunimal-Wunimal ini mendadak ganas, menyerang sekitar, terus nggak sadar (hollow) selama beberapa hari sebelum kemudian meninggal atau jadi Unimal. Orang-orang di Nevermoor nyebut penyakit ini Hollowpox.

            Dalam buku ini kita juga melihat bagaimana Morrigan mulai belajar seni Wundersmith menggunakan teknik tertentu (maaf saya lupa namanya HAHAHA) jadi dia kayak lihat ke masa lalu dan belajar sama Wundersmith-Wundersmith yang udah mati. Sebenarnya, dia bisa aja belajar sama Ezra Squall, tapi dia nggak mau karena Ezra Squall jahat. Namun, apakah dia selamanya akan menolak? Silakan baca sendiri :D.

            Seperti dua buku sebelumnya, saya sukaa buku ini. Menurut saya, serial ini tuh world-building-nya bagus banget. Sistem dunianya kuat dan menarik banget buat diikutin. Namun, dibanding dua buku sebelumnya, sebenarnya ini yang paling saya nggak suka, karena terasa banget filler-nya, kayak sebenarnya nggak banyak hal penting yang terjadi di sini, tapi mungkin tetap butuh terjadi buat ngelanjutin ke buku selanjutnya (?).

            Lalu, kenapa kalau nggak bagus-bagus banget sebagai sekuel saya masukin ke tag ini? HAHAA karena saya baru baca 21 buku dan minim sekuel HAHAH maafkan ya :D. Lagi pula, walaupun nggak sebagus dua buku sebelumnya, saya tetap suka, kok.

 

3. New release you haven't read yet, but want to.


Heartstopper Volume 4 – Alice Oseman



AAAA nggak sabar banget baca Heartstopper #4! Jadi, ini adalah graphic novel tentang Nick dan Charlie dan kita ngikutin gimana mereka awalnya kenal, terus mulai berhubungan, dll. Heartstopper ini terkenal banget karena ceritanya sederhana tapi lucu dan heartwarming banget! Tapi juga membahas hal-hal penting semacam berusaha menemukan orientasi seksual, eating disorder, bullying, self-harm, dll.

Oh ya, terus ini juga satu universe sama buku-buku Alice Oseman yang lain. Jadi kalian bakal menemukan karakter-karakter di buku Alice Oseman yang lain di serial Heartstopper ini! :D.


Cover-nya aja udah bagus banget gak sihh? :") 


4. Most anticipated release for the second half of the year.


Aristotle and Dante Dive into the Waters of the World - Benjamin Alire Sáenz



AAA ini sekuelnya Aristotle and Dante Discover the Secret of the Universe yang saya juga udah pernah review di January Wrap Up (bisa dibaca di sini). Bakal dirilis Oktober 2021 dan blurb-nya kayak
gini di Goodreads:


In Aristotle and Dante Discover the Secrets of the Universe, two boys in a border town fell in love. Now, they must discover what it means to stay in love and build a relationship in a world that seems to challenge their very existence.

Ari has spent all of high school burying who he really is, staying silent and invisible. He expected his senior year to be the same. But something in him cracked open when he fell in love with Dante, and he can’t go back. Suddenly he finds himself reaching out to new friends, standing up to bullies of all kinds, and making his voice heard. And, always, there is Dante, dreamy, witty Dante, who can get on Ari’s nerves and fill him with desire all at once.

The boys are determined to forge a path for themselves in a world that doesn’t understand them. But when Ari is faced with a shocking loss, he’ll have to fight like never before to create a life that is truthfully, joyfully his own.


            Nggak sabar banget! Cover-nya juga bangus banget nggak sihh?! Dan karena memang Aristotle and Dante ini terkenal sama writing-nya yang indaaaah banget saya juga mengharapkan yang sama dari buku ini. MUST-HAVE BANGET!!

 

 

5. Biggest disappointment.


Act Your Age, Eve Brown – Talia Hibbert



           OKEEEEYYYYYYY sori saya bakal diserang nggak ya karena naruh ini di biggest disappointment WKWKWK. Hampir di semua video mid year book freak out tag yang saya tonton, kayaknya buku ini masuk di tag yang bagus bagus deh wkwk. 

            Oke, klarifikasi, jadi ini masuk di disappointment bukan karena ceritanya, tapi karena saya baca ini di momen yang kurang tepat aja. Saya dengar audiobook-nya dan waktu itu lagi agak bad month dan diselingin kuliah beserta tugas-tugasnya jadi buku ini saya kesampingkan. Lalu, karena menurut saya nggak ada yang bisa bikin saya tertarik buat dengerin terus, jadi lamaaa banget saya nyelesaiinnya. Jadi yaah, gitu, deh. Padahal saya awalnya berharap buku ini bisa balikin mood baca saya, tapi ternyata biasa aja.

           Buat yang nggak tahu, buku ini termasuk dalam set The Brown Sisters, di mana di dalamnya ada 2 buku lain:




        Buku-buku ini sebenernya nggak berhubungan tapi masih satu universe, jadi karakter-karakternya saling kenal satu sama lain dan bisa dibaca bebas dari buku mana pun yang kalian mau. Sejak 2020, serial ini terkenal banget karena romance-nya yang lucu, karakter-karakter ceweknya yang relatable, karakter-karakter cowoknya yang 100000% keren dan baik tapi masih realistis dengan kekurangan masing-masing, plusss hubungan mereka yang sehat dan nggak toxic walaupun tetap berkonflik.

        Untuk Act Your Age, Eve Brown sendiri bercerita tentang cewek paling muda dari keluarga Brown—Eve—yang sampai umurnya sekarang (lupa berapa wkwk, pokoknya udah gede), itu dia belum pernah punya kerjaan yang bisa diandalkan dan selama ini masih bergantung dari uang orangtuanya. Akhirnya, suatu hari dia memutuskan buat kerja di B&B (Bed and Breakfast) sebagai koki (walaupun dia nggak bisa-bisa banget, cuma kayak out of nowhere aja daftar). Awalnya, pemilik B&B ini yaitu Jacob Wayne, nggak suka banget sama Eve yang serampangan, berkebalikan banget dengan Jacob yang sangat teratur dan terorganisir. Jadi Eve pun ditolak, tapi abis wawancara itu, Eve nggak sengaja nabrak Jacob pakai mobilnya dan Jacob jadi nggak bisa ngurus B&B-nya. Akhirnya, karena nggak ada pilihan lain, Eve diterima.

    Dari situ, kita mulai mengikuti interaksi mereka, yang seinget saya, lucu, sih. Eve yang kocak dan seenaknya aja bikin Jacob frustrasi. Tapi tentu saja mereka diam-diam mulai merasakan ada ~sexual tension~ dan yaa mulai ada hubungan gitu deeh.

    To be fair, saya menikmati buku ini, kok. Di beberapa bagian emang kocak banget. Tapi ya itu tadi, nggak terlalu berkesan, padahal saya berharap buku ini bisa bikin saya keluar dari reading slump saya. Mungkin kapan-kapan akan saya coba baca lagi kalau ada kesempatan buat punya buku fisiknya. 

 

6. Biggest surprise.


My Dark Vanessa – Kate Elizabeth Russell




    Trigger warnings: emotional manipulation, pedophilia, predatory grooming, rape, sexual assault, suicide.

        Buku ini menceritakan bercerita tentang Vanessa, yang pas umur 15 tahun terlibat affair dengan gurunya—Jacob Strane—yang berumur 40-an. Buku ini dibawakan dari sudut pandang Vanessa dan dijelasin dari 2 timeline gitu, yang pertama dari ketika Vanessa masih sekolah dan mengalamai affair itu, dan yang satunya lagi ketika Vanessa udah di umur 30-an dan menghadapi dampak dari affair-nya dulu, ditambah pas umur 30-an itu, ada cewek lain yang speak up soal dia yang dilecehkan sama Jacob Strane juga dan jadi viral. Hal ini bikin Vanessa berpikir soal victimhood dan membuka bahasan di buku ini tentang bagaimana perempuan seperti di-"encourage" terutama oleh media buat jadi korban, yang menurut saya jadi topik bahasan yang menarik juga.

Di sini diceritakan dengan cukup detail dan eksplisit yang mungkin cukup menganggu bagi sebagian orang. Mungkin juga ada yang beranggapan ini jadinya trauma porn. Tapi menurut saya eksekusinya cukup bagus dan cara pendekatan ke kejadiannya juga bikin kita bisa ngerti dari sudut pandang Vanessanya gimana, apa yang dia rasain selama berhubungan sama Strane. 

Karena awalnya Vanessa diceritain sebagai cewek yang nggak punya teman, dan karena juga masih 15 tahun, dia jadi gampang dimanipulasi sama Strane. Berkali-kali Strane tuh kayak bilang semua keputusan ada di tangan Vanessa, kalau Vanessa nggak mau dia bakal berhenti, dll. Padahal dari sudut pandang Vanessa kita lihat kalau kadang Strane udah ngelakuin sebelum nanya, dan keseringan, Vanessa terpaksa menjawab sesuai keinginan Strane karena dia nggak mau mengecewakan Strane. 

Strane juga memposisikan diri dia sebagai korban yang seolah-olah nggak bisa nahan kalau dia jatuh cinta sama cewek 15 tahun, dan ketika Vanessa kelihatan nggak mau dan mulai mempertanyakan hubungan mereka, Strane bakal nyalahin dia sendiri dan Vanessa jadinya yang merasa bersalah . Dan pas Vanessa yang akhirnya berkorban, harus bohong buat menyelamatkan Strane dan justru dia yang kena dampaknya, Strane malah bilang itu memang yang seharusnya dia lakuin, Vanessa udah jadi hero, menyelamatkan mereka berdua, apalah apalah apALAAH adjahdiuwhdiuw ???!! ARGGHHH I HATE HIM SOOO MUCHHH. Emosi banget nulis soal Jacob Strane.



Yang bikin saya masukkin buku ini ke biggest surprise adalah, saya cukup kaget sama eksekusi cerita di buku ini. Sebelum baca, saya udah tahu buku ini tentang apa, tapi saya nggak nyangka eksekusinya bakal sebagus ini dan saya menikmati banget (walaupun dalam waktu yang bersamaan juga jijik banget sama Jacob Strane). Saya juga sukaaa banget sama ending bukunya yang menurut saya sangat realistis. Selain itu, saya suka banget sama poin-poin yang dibahas di buku ini—terutama mengenai makna jadi korban. Ada satu quotes dari buku ini yang diucapin Vanessa ke terapisnya dan bisa menggambarkan perasaannya selama ini.


“I can’t lose the thing I’ve held onto for so long, you know? I just really need it to be a love story, you know? I really, really need it to be that. Because if it isn’t a love story, then what is it? It’s my life. This has been my whole life.”


Dia nggak mau dianggap jadi korban dan merasa perlu terus meromantisasi hubungannya sama Strane, karena dia udah berkorban banyak bangeet buat belain Strane, dan dia nggak rela kalau itu semua disimplifikasi dan dia disebut jadi “korban” pelecehan Strane, dan dia harus nerima fakta kalau memang selama ini hidupnya dimanipulasi sama Strane. Vanessa juga merasa di beberapa waktu dia duluan yang mulai dan menginisiasi hubungan dengan Strane (tentu aja karena dia dimanipulasi emosinya sama Strane arghhh!! Apa si lu kakek-kakek ga jelas). 

Tapi harap diingat buku ini nggak buat semua orang. Banyak yang nggak suka dan nggak bisa baca sampai akhir, tapi banyak juga yang suka. Dan tentu aja perhatikan dulu trigger warnings-nya sebelum baca yaa.

 

7. Favourite new author. (Debut or new to you)


Brit Bennett (The Vanishing Half)



Setelah lama banget ada di wish list akhirnya kesampaian juga baca ini, dan saya puas banget! Buat yang belum tahu, The Vanishing Half ini adalah historical fiction yang menceritakan tentang saudara kembar Desiree dan Stella Vignes yang tinggal di kota kecil bernama Mallard. Di Mallard ini, isinya orang-orang kulit berwarna dan tergolong Negro (pada saat itu masih disebut Negro), tapi mereka termasuk yang kulitnya terang, termasuk si kembar Vignes, jadi sebenarnya kalau orang nggak terlalu memperhatikan, mereka bisa aja dikira orang kulit putih.

Suatu hari, pas mereka masih remaja, mereka memutuskan buat minggat dari Mallard. Mereka pergi ke New Orleans dan berusaha hidup di sana. Nah, suatu hari, Stella ninggalin Desiree. Bagian awal novel ini kita diajak ngikutin kehidupan Desiree yang setelah ditinggal Stella berusaha menghidupi dirinya sendiri, menikah sama orang kulit hitam, ada masalah sama suaminya, dan akhirnya bawa anaknya—Jude—balik ke Mallard lagi dan tinggal sama mamanya. Di sini Desiree masih berharap suatu hari bisa denger kabar dari Stella, karena dia putus kontak dan sama sekali nggak tahu saudara kembarnya ada di mana.

Nah, setelah itu kita melihat kehidupan Stella, di mana dia memutuskan buat pura-pura jadi orang kulit putih. Dan karena pada saat itu perbedaan warna kulit ini masih menjadi hal yang mencolok dan mempengaruhi kualitas hidup seseorang banget, tentu aja hidup Stella jadi berubah drastis setelah berpura-pura jadi orang kulit putih. Dia nikah sama orang kulit putih yang kaya, tinggal di perumahan orang kulit putih, punya anak yang juga berkulit putih bernama Kennedy, bisa beli ini-itu, dan lain-lain, pokoknya kualitas hidupnya dan Desiree beda jauh. Tapi dia merahasiakan asal-usulnya dari suami dan anaknya. Jadi nggak ada yang tahu kalau Stella aslinya bukan orang kulit putih, dan nyimpen rahasia itu yang bikin hidup Stella jadi nggak tenang.

Di sini kita melihat bagaimana hidup mereka yang sangat jauh tapi mulai berhubungan lagi ketika kehidupan anaknya Desiree—Jude, mulai berinteraksi dengan kehidupan anaknya Stella—Kennedy, secara tidak sengaja. Dan aaaa saya suka banget!

Yang saya paling suka dari buku ini adalah narasinya Brit Bennett bagus dan indaaah banget tapi sangaat bisa diakses, nggak sulit dicerna, sambil tetap menyampikan poin-poin penting tentang ras, kelas sosial, dan juga gender. Ceritanya enak banget buat dibaca, padahal perspektifnya ganti-ganti, timeline-nya pun loncat-loncat karena di sini diceritain cerita dari 2 generasi, yaitu generasi Desiree dan Stella, dan juga generasi Jude dan Kennedy. Di sini kita bahkan juga diceritain detail kehidupan Jude dan Kennedy dari mereka kecil, love life mereka, sampai mereka dewasa.

Awal buku ini menurut saya emang agak membosankan, tapi begitu kita sampai di saat mulai terlihat bagaimana semua cerita ini bakal terkoneksi satu dengan yang lain, jadi keterusan baca. Pokoknya saya suka banget sama tulisannya Brit Bennett! Makanya saya masukkin di poin ini. Saya bahkan udah beli buku Brit Bennett selanjutnya yaitu The Mothers yang sebentar lagi akan saya baca.



Dan kalau Brit Bennett rilis buku lagi pasti akan langsung saya baca!

 

8. Newest fictional crush & 9. Newest favourite character.


Samson Lima & Rhiannon Hunter (The Right Swipe).


credit:  on Goodreads

Buat nomor 8 dan 9 saya gabungin aja karena bingung sebenernya. Buat yang crush saya hampir nggak kepikiran sama sekali, karena kalau ngomongin fictional crush, saya langsung kebayang waktu SMP saya terobsesi sama banyak banget karakter, apalagi William Herondale dan James Carstairs HAHAHAHHA (dari The Infernal Devices-nya Cassandra Clare). Sampai bener-bener sehari-hari kerjaan saya ngebayangin mereka muncul di depan saya terus dan saya bener-bener pengin berubah jadi Shadowhunter HAHAH. Maafkan ya emang alay banget :”).

Nah, dibanding waktu SMP itu, saya sekarang merasa agak lebih waras, dan nggak ada yang bener-bener saya suka gitu, baik sebagai crush maupun sebagai fav character. Tapi setelah mikir-mikir, saya mungkin bakal milih dua karakter utama dari The Right Swipe – Alisha Rai, yaitu Samson Lima dan Rhiannon Hunter buat jawab nomor 8 dan 9 sekaligus.



Oke, saya jelasin dulu buat ceritanya. Jadi The Right Swipe ini adalah adult romance yang menceritakan tentang Rhiannon Hunter yang merupaka CEO di perusahaan dating app bernama Crush. Cerita ini dibuka dengan Rhiannon datang ke pertemuan app-app gitu (?), dan dia juga pengin ketemu perusahan dating app rivalnya yaitu Matchmaker, karena dia punya rencana buat beli perusahaan itu. Namun, ternyata pemilik Matchmaker yang dia temui malah nggak hadir dan yang hadir adalah perwakilannya—Samson Lima. Masalahnya di sini adalah Rhiannon dan Samson pernah melakukan one night stand dengan satu sama lain, terus pas Rhiannon sama Samson janji buat ketemu lagi, Rhiannon di-ghosting. Dari pertemuan di acara itu, mereka mulai berinteraksi lagimulai dari Samson yang berusaha jelasin ke Rhiannon kenapa dia ghosting Rhiannon, mereka bikin rencana bisnis bareng, dan ya mulai ada hubungan gitu deh. 

Menurut saya buku ini cukup asik buat diikutin, karena selain romance, topik yang diangkat tentang lingkungan football di sana dan gender terutama di perusahaan cukup baik disampaikan. Dan yang bikin asik banget adalah karakter-karakternya, makanya saya masukkin di nomor 8 dan 9 ini. Samson dan Rhiannon masing-masing punya “kekuatannya” dan ketika jadi couple pun jadinya ya semacam power couple (?) gitu HAHA.

Buku ini juga terlibat di serial Modern Love yang kayak The Brown Sisters-nya Talia Hibbert saling berhubungan tapi bisa dibaca acak. Saat nulis ini, saya lagi baca Girl Gone Viral yang ngikutin cerita sahabatnya Rhiannon yang juga merupakan investor Crush gitu. Tema ceritanya pun juga mirip banget sama serial The Brown Sisters-nya Talia Hibbertsama-sama lucu dan asik, karakter-karakternya oke semua, dan romance-nya steamy gitu. 

 

10. Book that made you cry.


Maybe You Should Talk to Someone – Lori Gottlieb



Buku ini adalah memoir yang ditulis oleh seorang terapis, yang nyeritain pengalamannya sendiri ketika dia habis ngalamin bad break up dan akhirnya ke terapi, dan juga pengalamannya sebagai terapis dan nyeritain pasien-pasiennya. Ada tiga klien yang dia certain detail walaupun detail-detail dan nama orangnya diubah jadi pembaca nggak bakal tahu mereka aslinya siapa.

Cerita-cerita pasien-pasiennya ini yang bikin saya nangis berkali-kali. Bener-bener menyentuh banget!! Mulai dari ada klien yang awalnya distant banget, cuek, tapi juga lagi berusaha menghadapi dan memperbaiki pernikahannya. Ada juga pasien kanker yang hidupnya sebentar lagi dan kita melihat gimana pasien ini berusaha menerima fakta kalau dia sebentar lagi meninggal padahal masih muda, apa yang akan dia lakukan di sisa waktu hidupnya, dll. Ada juga pasien lain yang udah tua, dan pengin membangun lagi hubungan sama anak-anaknya walaupun anak-anaknya nggak mau karena ada masalah di kehidupan mereka dulu.

Masing-masing disampaiin dengan cara yang menurut saya bagus banget dan penulisnya terlihat benar-benar insightful gitu. Ada satu kutipan yang saya suka banget (di antara banyak lainnya) di buku ini:


We’re both laughing at me, and I’m laughing too at the ways people rank their pain. I think about Julie. “At least I don’t have cancer,” she’d say, but that’s also a phrase that healthy people use to minimize their own suffering. I remember how, initially, John’s appointment was scheduled after Julie’s and how I regularly made an effort to remember one of the most important lessons from my training: There’s no hierarchy of pain. Suffering shouldn’t be ranked, because pain is not a contest. Spouses often forget this, upping the ante on their suffering—I had the kids all day. My job is more demanding than yours. I’m lonelier than you are. Whose pain wins—or loses? But pain is pain.

 

11. Book that made you happy.


Wow, No Thank You – Samantha Irby



            Ini adalah personal essays yang ditulis Samantha Irby tentang kehidupannya sehari-hari yang membahas tentang karirnya, kehidupan sosialnya, kesehatannya, hubungannya, dan pikiran-pikirannya sehari-hari tentang kejadian di dunia.

            Samantha Irby terkenal karena gaya nulisnya yang ceplas-ceplos dan kocak banget. Dan karena saya dengerin ini di audiobook yang dinarasiin sama Samantha Irby sendiri, kocaknya jadi dobel-dobel banget. Saya udah punya e-book-nya buat bukunya yang We Are Never Meeting in Real Life yang juga merupakan kumpulan personal essays gitu dan saya nggak sabar banget pengin baca! :D.

 

 

12. Most beautiful book you've bought so far this year (or received)


Sapiens Grafis: Kelahiran Umat Manusia – Yuval Noah Harari



            Sebenernya tahun ini saya nggak beli terlalu banyak buku fisik, apalagi yang bagus-bagus kayak khusus collector edition atau apalah, jadi paling yang masuk kategori ini adalah Sapiens Grafis ini.

            Saya suka banget Sapiens dan selalu pengin baca ulang. Ternyata, ada versi ilustrasinya walaupun baru yang jilid 1 karena versi ilustrasinya emang dipercah ke beberapa jilid gitu. Walaupun sampai sekarang saya belum baca, tapi secepatnya akan saya baca, hehehe.

 

13. What books do you need to read by the end of the year?


In the Dream House – Carmen Maria Machado



Ini sebenernya agak bingung, karena ada banyak buku yang saya pengin baca, tapi ini salah satu wish list saya dari tahun lalu dan belum kesampaian juga! Karena saya cari-cari di mana-mana itu nggak ada. Adanya paling kalau di Indonesia yang versi cover lain yaitu yang ini:



Saya maunya cover-nya kayak yang atas itu HAHA. Karena bagus banget nggak, sih? Tapi kayaknya saya harus beli impor dari luar negeri hiks :").

Blurb-nya kayak gini di Goodreads:


For years Carmen Maria Machado has struggled to articulate her experiences in an abusive same-sex relationship. In this extraordinarily candid and radically inventive memoir, Machado tackles a dark and difficult subject with wit, inventiveness and an inquiring spirit, as she uses a series of narrative tropes—including classic horror themes—to create an entirely unique piece of work which is destined to become an instant classic.


AAA menarik banget kan?! Terus rating-nya juga 4.5 di Goodreads dan kata orang-orang beneran bagus banget! Doain semoga saya bisa punya buku fisiknya dan baca di tahun ini, ya! HEHE :D.

 

--

Okee, mungkin segitu dulu. Semoga tulisan ini bisa berguna (?). Sampai jumpa di tulisan saya di blog ini yang entah kapan akan muncul lagi WKWK.

 






Continue reading Mid Year Book Freak Out Tag 2021

Saturday, June 26, 2021

,

Menemukan Harapan dan Suara (Know My Name - Chanel Miller, Book Review)


You don’t know me, but you’ve been inside me, and that’s why we’re here today.

    Juni 2016, di depan layar komputer, ponsel, tablet — di rumah, tempat kerja, transportasi umum — jutaan orang tersentuh membaca dua belas halaman victim impact statement yang dipublikasikan di Buzzfeed. Statement tersebut ditulis oleh seseorang yang mengindentifikasikan dirinya sendiri sebagai Emily Doe. Dalam unggahan tersebut, jutaan orang membaca bagaimana Emily dilecehkan ketika ia mabuk sampai tidak sadar, bagaimana kemudian dia menggugat ke pengadilan dengan sedikit pengetahuan bahwa langkah yang ia pilih justru mengarahkannya ke proses yang sangat pelik, rumit, berliku-liku, yang seolah tak ada habisnya — ia harus mengunjungi malam nahas di hidupnya berkali-kali, dipermalukan di depan publik, diragukan, dicap pembohong, pemabuk, pantas dilecehkan, kata-katanya diputar untuk menyerang balik dirinya, melihat orang-orang tersayang di hidupnya harus ikut terdampak karena kejadian tersebut — hanya untuk melihat pelaku, Brock Turner, menerima hukuman yang sangat ringan.

    Unggahan tersebut menyentuh dan menggerakan hati banyak orang. Berbondong-bondong mereka mengirimkan pesan penyemangat dan hadiah untuk Emily yang tidak mereka ketahui nama aslinya — sebab mereka merasa tulisan Emily telah membuat mereka sadar bahwa mereka tidak sendirian, memberikan harapan dan kekuatan bagi para penyintas kekerasan seksual. Menyatukan mereka dalam satu kekuatan besar yang bukannya menyederhanakan mmereka menjadi “korban kekerasan seksual” melainkan membuat mereka mengakui bahwa masing-masing dari mereka kuat dan pantas berada di dunia ini. Seorang remaja enam belas tahun, mengirim pesan kepada Emily bahwa tulisannya yang membuatnya dapat bangkit di pagi hari setelah 2 tahun merasa tidak ada harapan dan tidak dapat bangkit.

“Victims exist in a society that tells us our purpose is to be an inspiring story. But sometimes the best we can do is tell you we’re still here, and that should be enough. Denying darkness does not bring anyone closer to the light. When you hear a story about rape, all the graphic and unsettling details, resist the instinct to turn away; instead loo closer, because beneath the gore and the police reports is a whole, beautiful person, looking for ways to be in the world again.”

    2019, Chanel Miller mengenalkan dirinya kepada dunia. Membuka identitas Emily Doe yang sebenarnya. Memutuskan untuk merilis memoir­-nya yang berjudul Know My Name dengan namanya sendiri meskipun ia tahu berbagai risiko yang harus ia hadapi.

“In victim realm, we speak anonymity like a golden shield. To have maintained it for four years was a miracle. But while we discussed the protection it afforded, no one discussed the cost. Never to speak aloud who you are, what you’re thinking, what’s important to you. I was lonely. I longed to know what it was like not to have spend all my energy concealing the most heated parts of me. I kept coming back to a line from one of Lao Tzu’s poems: He who stands on tiptoe, doesn’t stand firm. I could not spend my life tiptoeing.”

    Dalam buku ini, Chanel Miller menceritakan dengan bahasa dan narasi yang sangat indah tetapi juga lugas. Rasanya seperti membaca literary fiction, tetapi ketika teringat bahwa tidak ada yang fiksi dari cerita ini, saya mengernyit miris.

    Chanel bercerita dengan detail bagaimana rasanya tidak tahu apa-apa. Ketika terbangun, ia langsung disodori fakta bahwa ia kemungkinan telah diperkosa. Ketika ke toilet dan hendak buang air kecil, ia baru sadar bahwa ia tidak mengenakan celana dalam. Ketika dibersihkan dan diobati tubuhnya oleh perawat, ia baru sadar bahwa tubuhnya penuh abrasi, luka, kotoran, dan serpihan tanaman.

    Melalui buku ini juga, kita bisa ikut merasakan bagaimana sulitnya kembali berusaha menjalani kehidupan setelah mengalami pelecehan seksual. Bagaimana sulitnya berkonsentrasi pada kerjaan, sulitnya harus memberitahu orang-orang penting di hidupnya bahwa ialah perempuan korban pemerkosaan yang sedang dibicarakan di berita.

    Dan tentunya, kita ikut menjalani proses peradilan yang sangat amat panjang dan melelahkan. Kita dibuat ikut frustrasi dan merasa tidak berdaya menghadapi suatu sistem yang belum membuat gugatan pelecehan seksual mudah.

    Banyak sekali poin-poin penting yang bisa diambil dari buku ini. Namun, di akhir bukunya, Chanel menegaskan bahwa yang ingin ia sampaikan bahwa masih banyak hal baik di dunia ini yang pantas kita perjuangkan. Pada malam nahasnya, Chanel diselamatkan oleh dua orang pesepeda Swedia yang kebetulan lewat dan melihat Brock di atas tubuh seorang perempuan yang tidak bergerak. Kedua orang itu langsung mengejar Brock, tetapi dengan sebelumnya mengecek keadaan Chanel terlebih dahulu. Dalam dua orang ini, Chanel menemukan harapan dan ingin para pembaca yang mungkin sedang mengalami hal sulit juga percaya bahwa harapan seperti itu ada.

“I can’t promise your journey will be good, I actually guarantee that it won’t. I can’t promise glorious days or shining redemption. I am here to assure the opposite; you will be faced with the hardest days of your life. The agony is incessant, unyielding, but when you get to the point where you feel like everything’s gone, there’s a little twist, a flame, a small shift. It is subtle, it comes when you least expect it. Wait for it. This is the rule of the universe, this is the one thing in life I know to be true. No matter how awful and long your journey, I can promise you the turn. One day it will lift.”

    Bagi saya buku ini sempurna 5 bintang. Banyak hal yang sudah sering saya dengar diutarakan di buku ini, tetapi bukannya repetitif, justru menegaskan bahwa hal-hal tersebut memang penting dan sampai ada perubahan nyata, hal-hal tersebut akan terus diperjuangkan.

    Terakhir, saya akan mengakhiri tulisan ini dengan beberapa kutipan yang saya suka dari buku ini (yang sebenarnya banyak sekali, sayang tidak mungkin dimasukkan semuanya).

“In rape cases it’s strange to me when people say, Well why didn’t you fight him? If you woke up to a robber in your home, saw him taking your stuff, people wouldn’t ask, Well why didn’t you fight him? Why didn’t you tell him no? He’s already violating an unspoken rule, why would he suddenly decide to adhere to reason? What would give you reason to think he’d stop if you told him to? And in this case, with my being unconscious, why were there still so many questions?”

“I encourage you to sit in that garden, but when you do, close your eyes and I’ll tell you about the real garden, the sacred place. Ninety feet away from where you sit there is a spot, where Brock’s knees hit the dirt, where the Swedes tackled him to the ground, yelling ‘What the fuck are you doing? Do you think this is okay?’. Put their words on a plaque. Mark that spot, because in my mind I’ve erected a monument. The place to be remembered is not where I was assaulted, but where he fell, where I was saved, where two men declared stop, no more, not here, not now, not ever.”

“He was not forced to acknowledge the facts of his present. He was talked about in terms of his lost potential, what he would never be, rather than what he is. They spoke as if his future was patiently waiting for him to step into it. Most of us understand that your future is not promised to you. It is constructed day by day, through the choices you make. Your future is earned, little by little, through hard work and action. If you don’t act accordingly, that dream dissolves.

If punishment is based on potential, privileged people will be given lighter sentences. Brock was shielded inside projections of what people like him grow up to become, or are supposed to become…The judge argued that he’d already lost so much, given up so many opportunities, What happens to those who start off with little to lose? Instead of a…Stanford athlete, let’s imagine a Hispanic nineteen-year-old working in the fraternity kitchen commits the same crime. Does this story end differently? Does the Washington Post call him a surgeon?

“I survived because I remained soft, because I listened, because I wrote. Because I huddled close to my truth, protected it like a tiny flame in a terrible storm. Hold up your head when the tears come, when you are mocked, insulted, questioned, threatened, when they tell you you are nothing, when your body is reduced to openings. The journey will be longer than you imagined, trauma will find you again and again. Do not become the ones who hurt you. Stay tender with your power. Never fight to injure, fight to uplift. Fight because you know that in this life, you deserve safety, joy, and freedom. Fight because it is your life. Not anyone else’s. I did it, I am here. Looking back, all the ones who doubted or hurt or nearly conquered me faded away, and I am the only one standing. So now, the time has come. I dust myself off, and go on.”

Continue reading Menemukan Harapan dan Suara (Know My Name - Chanel Miller, Book Review)

Monday, April 20, 2020

, , , ,

January Wrap Up (20 books!!) | 2020


Halo! Saya balik lagi ke blog ini dengan review buku :D. Oke, karena ini wrap up jadi kemungkinan review-nya nggak bakal panjang-panjang (semoga). Mungkin ada yang pendek review-nya mengingat ini adalah buku-buku yang saya baca bulan Januari dan saya nulis ini bulan April jadi banyak yang udah saya agak lupa detailnya hehe, tapi mungkin ada yang panjang juga (terutama buku-buku yang saya suka) karena di bulan Januari ini saya sengaja banyak baca buku yang kayaknya bakal saya suka dan ada 6 buku yang saya masukin shelf favorit di Goodreads!! (sebagai konteks, tahun 2019 cuma 2 buku yang saya masukin shelf favorit, tapi yah, tahun 2019 saya cuma baca 35 buku dan di bulan Januari 2020 aja saya udah baca lebih dari setengah jumlah buku yang saya baca tahun 2019 jadi yah... wkwk)).

Continue reading January Wrap Up (20 books!!) | 2020

Tuesday, March 17, 2020